Monday, April 22, 2013

Awas, Depresi atau Galau Bisa Menular Lho

Jakarta - Ketika melihat teman atau sahabat tengah dirundung masalah, Anda tentu tak ingin berdiam diri. Tapi hati-hati dengan teman yang mudah galau atau sedikit-sedikit stres, karena menurut sebuah studi kondisi ini dapat menular.

Bahkan peneliti Gerald Haeffel dan Jennifer Hames dari University of Notre Dame, AS mengklaim teman dekat atau sahabat orang yang mudah depresi akan merasakan gejala depresi yang sama dalam kurun waktu enam bulan kemudian.

Studi yang dipublikasikan dalam jurnal Clinical Psychological Science ini memaparkan yang bersifat 'menular' dari penderita depresi adalah 'cognitive vulnerability' atau 'kerentanan kognitifnya'. 'Kerentanan kognitif' adalah kondisi seseorang yang cenderung merespons masalah secara negatif. Orang yang memiliki tingkat 'kerentanan kognitif' tinggi terbukti lebih rentan terkena depresi.

Tingkat 'kerentanan kognitif' satu orang dengan orang lainnya berbeda-beda. Biasanya gejalanya mulai muncul pada usia remaja awal dan terus berlanjut hingga dewasa. Kendati begitu, Haeffel dan Hames memprediksi ada kemungkinan untuk memodifikasi kecenderungan seseorang untuk mengalami depresi dalam kondisi tertentu.

Haeffel dan Hames menduga jika 'kerentanan kognitif' ini bisa jadi 'menular', terutama ketika lingkungan sosial seseorang tengah berubah-ubah. Keduanya menemukan hipotesis ini setelah mengamati 103 pasang rekan sekamar yang baru saja memulai kehidupan perkuliahan sebagai mahasiswa baru (maba) di sebuah universitas di AS.

Setelah sebulan menjalani kehidupan perkuliahan, setiap partisipan mengerjakan beberapa kuesioner online yang didesain khusus untuk mengukur tingkat 'kerentanan kognitif' dan gejala depresi yang dimilikinya. Aktivitas ini kembali dilakukan partisipan tiga bulan kemudian, begitu pula dengan enam bulan berikutnya.

Dari situ peneliti menemukan bahwa maba yang secara acak ditempatkan satu kamar dengan partisipan lain yang tingkat 'kerentanan kognitifnya' tinggi lebih mudah tertular gaya kognitif teman sekamarnya. Tak hanya itu, tingkat 'kerentanan kognitifnya' pun berkembang pesat.

Sebaliknya, maba yang diminta sekamar dengan partisipan lain yang tingkat 'kerentanan kognitifnya' rendah justru mengalami penurunan pada tingkat 'kerentanan kognitif' mereka sendiri. Efek penularan ini terbukti tetap konsisten pada partisipan dan terlihat dari hasil kuesioner partisipan tiga dan enam bulan kemudian.

Bahkan peneliti mencatat perubahan tingkat 'kerentanan kognitif' ini mempengaruhi risiko gejala depresi partisipan di masa depan. Pasalnya, teman sekamar yang menunjukkan peningkatan 'kerentanan kognitif' di tiga bulan pertama berisiko dua kali lebih besar memperlihatkan gejala depresi pada bulan keenam dibandingkan partisipan yang tidak menunjukkan peningkatan.

"Temuan kami mendemonstrasikan bahwa 'kerentanan kognitif' berpotensi untuk bertambah atau berkurang dari waktu ke waktu, tergantung konteks sosialnya," tandas Haeffel dan Hames seperti dilansir Emaxhealth, Selasa (23/4/2013).

Namun Haeffel dan Hames menduga efek penularan ini dapat dimanfaatkan untuk membantu mengobati gejala depresi yang dialami seseorang.

"Nantinya lingkungan sosial individu bisa jadi bagian dari proses intervensi atau suplemen terhadap intervensi kognitif yang sudah ada, bahkan dijadikan metode intervensi yang berdiri sendiri. Misalnya mengelilingi pasien depresi dengan orang-orang yang memiliki gaya kognitif adaptif agar dapat membantu memfasilitasi perubahan kognitif dalam terapi," pungkas keduanya.


No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...