Sunday, June 9, 2013

Epilepsi Langka Membuat Dua Gadis Kecil Ini Tak Leluasa Bermain

Jakarta - Masa kanak-kanak seharusnya dihabiskan untuk bermain. Tapi saudara kembar ini tidak bisa leluasa bermain di taman atau berlibur karena kegembiraan yang mereka rasakan saat bermain dapat membunuh keduanya. Ini karena mereka mengidap salah satu jenis epilepsi langka.

Darcie dan Evie Chapman yang berasal dari Warrington, Cheshire ini merupakan satu-satunya pasangan kembar di Inggris yang mengidap epilepsi langka nan parah bernama Dravet Syndrome ini.

Sewaktu-waktu, penderita Dravet Syndrome ini bisa saja mengalami SUDEP (sudden unexplained death in epilepsy patients) atau kematian mendadak yang tak dapat dijelaskan pada pasien epilepsi, termasuk keterlambatan perkembangan, gangguan makan, gangguan tidur hingga masalah perilaku.

Yang tak kalah mengerikan, pemicu kejang pada pasien Dravet Syndrome tak lain kegembiraan dan temperatur ekstrim. Artinya, kedua gadis berusia dua tahun ini harus diawasi secara ketat sepanjang waktu.

"Skenario terburuk adalah mereka bisa saja mengalami kejang dan meninggal dunia di atas ranjang mereka sendiri, atau ketika suplai oksigen ke otak mereka terhenti dan merusak otak mereka," ungkap sang ibu, Natalie (36).

"Kami pun mencoba menjaga segalanya agar tetap senormal mungkin tapi ini sangatlah sulit, terutama karena mereka berdua mengidap Dravet. Kami juga harus memiliki kewaspadaan tinggi sepanjang waktu, termasuk menghindari pemicu kejangnya, jadi kami harus terus mengawasi mereka dan itu melelahkan," tambahnya.

Kejang pertama yang dialami Darcie dan Evie terjadi saat mereka berlibur bersama keluarga di Spanyol ketika usia keduanya baru sembilan bulan.

Natalie yang juga seorang manajer proyek di sebuah perusahaan konstruksi menerangkan "Awalnya Darcie duluan yang kejang. Ini berlangsung selama 20 menit, dan itu terbilang cukup lama. Saya sempat tak tahu apa yang sedang terjadi. Kami bahkan tak mengetahui nomor telepon ambulans disana."

Ketika Natalie berhasil menghubungi sebuah rumah sakit di Spanyol, mereka justru menyuruh kami untuk naik taksi atau membawa kendaraan sendiri kesana karena ambulans butuh waktu lebih dari satu jam untuk sampai di tempat Natalie. "Kami pun harus membawa mereka dengan berjalan kaki. Sesampainya disana pun kami tak bisa berbuat apa-apa karena tak ada yang bisa berbahasa Inggris," kisahnya.

Keesokan harinya, giliran mata Evie yang melotot dan berputar-putar. Kedua orang tuanya pun tak dapat mengalihkan perhatiannya sama sekali. Natalie dan suaminya, Mark (37) juga tak menyadari jika saat itu putri mereka mengalami gejala lain dari epilepsi.

"Itu adalah liburan keluarga pertama kami sejak kelahiran keduanya dan sekarang kami sangat menghindari berlibur keluar negeri, kecuali kami dapat memastikan disana ada AC yang bagus," tandas Natalie.

Ketika keluarga ini kembali ke Inggris, mereka langsung mengunjungi dokter pribadi mereka dan memastikan bahwa baik Darcie maupun Evie mengalami kejang, tapi dokter juga mengatakan jika itu bisa saja kejang biasa yang pasti dialami banyak anak. Tapi kejang yang dialami kembar ini makin lama makin sering terjadi.

Hingga akhirnya Darcie dan Evie dirujuk ke Alder Hey Children's Hospital di Liverpool untuk menjalani tes terkait aktivitas otak mereka.

"Saat berada di rumah sakit, Evie sempat mengalami kejang dimana ia terus melotot ke satu sisi. Seketika dokter melihatnya, ia langsung menduga itu adalah Dravet Syndrome. Lantas mereka meminta kami untuk tidak pulang ke rumah dan menindaklanjuti kondisi kedua putri kami, dan tentu saja saya melakukannya," kata Natalie.

"Saya benar-benar merasa hancur. Saya mengira melahirkan anak yang normal tapi ternyata ketika usia mereka baru sembilan bulan saya diberitahu jika mereka mengidap penyakit genetik terbatas sehingga mereka harus diurus oleh orang lain untuk seumur hidupnya," lanjutnya.

Beruntung belakangan Darcie dan Evie hanya mengalami satu-dua kali kejang setiap bulannya. Ini adalah kemajuan yang luar biasa bagi keduanya. Apa rahasianya? Kejang yang dialami gadis kembar ini telah berhasil dikendalikan oleh obat-obatan.

Di masa depan, anak-anak ini mungkin memenuhi syarat untuk menjalani pengobatan lain menggunakan pola makan khusus yang disebut dengan diet ketogenik. Pola makan ini memaksa tubuh pasien untuk membakar lemak cadangan, alih-alih membakar glukosa.

Caranya dengan menjadikan produk-produk makanan yang mengandung lemak sebagai makanan utama dan membatasi jumlah karbohidrat yang dikonsumsi. Meski belum diketahui mengapa diet ketogenik dianggap dapat mencegah kejang namun pola makan ini telah terbukti efektif pada beberapa pasien.

Kabarnya sepertiga pasien anak yang mengadopsi diet ini bisa terbebas dari kejang dalam beberapa waktu, sedangkan sepertiga pasien anak lainnya mengalami pemulihan meski kadang-kadang masih sering mengalami kejang. Sisanya, tidak merespons diet ini sama sekali atau kesulitan untuk tetap bertahan dengan pola makan ini.

Para pakar menduga dengan mengadopsi diet ini maka pasien anak bisa menjadi lebih waspada. Bahkan pada beberapa pasien, mereka bisa sembuh dan tak memerlukan diet ini setelah mengadopsinya selama dua tahun.

Kendati begitu, diet ini juga mempunyai efek samping, seperti menimbulkan dehidrasi, sembelit, batu ginjal hingga batu empedu.

"Ini merupakan diet yang sangat ketat dan si kembar juga tak dapat sepenuhnya mengadopsinya. Diet ini terlalu sulit bagi mereka, apalagi sampai harus diadaptasi dalam waktu lama pada orang-orang dengan usia semuda mereka," ujar Natalie.

Menanggapi kasus ini, Marie Baker dari yayasan amal Dravet Syndrome UK, mengatakan, "Dravet Syndrome adalah salah satu jenis epilepsi paling mengerikan dengan tingkat SUDEP paling tinggi dibandingkan jenis epilepsi lainnya."

"Kejangnya sangat sulit dikendalikan dengan menggunakan obat-obatan anti-epilepsi biasa dan pasiennya pun rawan mengalami kejang lebih dari 15 menit. Padahal semakin lama durasi kejangnya maka semakin tinggi risikonya mengalami kerusakan otak," lanjutnya.

Baker pun menambahkan di samping kejang, yang sudah terjadi sejak tahun pertama kehidupan pasien, pasien Dravet Syndrome juga menderita gangguan pembelajaran dengan berbagai level dan banyak yang didiagnosis dengan autisme. Pasien juga bisa saja mengalami kesulitan bergerak, berkomunikasi hingga makan.

"Khusus untuk kasus ini, sangatlah jarang ada kembar yang didiagnosis dengan kondisi ini dan dari 200 anggota kami, hanya Darcie dan Evie saja yang kembar," tutupnya seperti dilansir Daily Mail, Sabtu (8/6/2013).


No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...